Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Data Konkret

Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Data Konkret
gambar diambil dari defensetax.com
Istilah data konkret bermula dari Pasal 13 ayat (1) UU KUP. Aturan ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain. Nah, keterangan lain dalam penjelasannya disebut sebagai data konkret.


Sebelum ada Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011, SKPKB terbit berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian. Prosedur penelitian ini berdasarkan "keterangan lain" sebagaimana dimaksud Pasal 13 (1) UU KUP. Kemudian berdasarkan PP 74 keterangan lain ini dieksekusi dengan verifikasi. Jadi, keterangan lain alias data konkret menjadi SKPKB setelah dilakukan verifikasi.

Aturan verifkasi ini ternyata pro dan kontra. Akhir dari perseteruan verifikasi ini dengan dilakukan judicial review oleh Kadin ke Mahkamah Agung. Hasilnya, Mahkamah Agung memenangkan Kadin. Sehingga sekarang tidak ada lagi verifikasi. Untuk mengeksekusi data konkret, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 tentang perubahan tata cara pemeriksaan.

Jadi sekarang, data konkret akan menjadi SKPKB dan menjadi tagihan Negara hanya melalui prosedur pemeriksaan.

Lantas, apa data konkret itu? Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU KUP berbunyi:
Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan

DATA KONKRET
Pada kebanyakan data konkret yang terkait faktur pajak adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh PKP tetapi tidak dilaporkan. Kantor pajak punya dua cara mengetahui data konkret ini:

  • data data lawan transaksi yang mengkreditkan pajak masukan,
  • nomor transaksi diberikan oleh sistem eNofa
Sejak berlakunya efaktur (faktur pajak elektronik) tentu saja PKP akan kesulitan untuk membantah faktur pajak. Semua efaktur harus mendapatkan "Approve" dari server DJP. Dengan prosedur approve yang ada di efaktur, maka setiap terbit faktur, data-data transaksi sudah terekam di server DJP. Ini adalah data konkret.

Bukti Potong PPh adalah bagian dari sistem withholding taxes. Wajib Pajak diberikan kewajiban untuk memotong dan/atau memungut pajak orang lain. Bukti bahwa dia sudah memotong pajak, si pemotong wajib membuat Bukti Potong PPh. Oleh penerima penghasilan Bukti Potong ini dilaporkan di SPT Tahunan PPh.

Bukti Potong PPh jenisnya banyak sesuai dengan jenis pajak yang dipotong. Jenis pajak yang dimaksud adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 (2), dan PPh Pasal 15.

Ke depan, DJP sebenarnya akan mengikuti efaktur untuk prosedur penerbitkan Bukti Potong PPh ini. Mungkin akan dilakukan setelah efaktur nasional. Tahun 2016 efaktur menjadi wajib bagi semua PKP di seluruh Indonesia. Semoga tahun 2017 Bukti Potong PPh juga sudah eletronik online.

Sebenarnya data konkret tidak terbatas pada faktur pajak dan bukti potong. UU KUP menyebut faktur pajak dan bukti potong sebagai "antara lain". Artinya, dua hal ini sebagai contoh saja.

Karena itu, Pasal 14 ayat (2) PP 74 tahun 2011 memperjelas data konkret menjadi empat:

  • hasil klarifikasi/konfirmasi faktur pajak;
  • bukti pemotongan Pajak Penghasilan;
  • data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
  • bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.



PEMERIKSAAN DATA KONKRET
Gampangnya, Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 "mengganti nama" verifikasi dengan pemeriksaan karena miripnya prosedur keduanya. Mirip tidak berarti sama kan?!

Pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret dilakukan dengan pemeriksaan kantor. Artinya, pemeriksaan dilakukan di kantor pajak. Tetapi jika ada dasar pemeriksaan lain selain data konkret, maka pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaan lapangan.

Pemeriksaan pajak data konkret tidak memiliki hak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Pembahasan dengan Tim QA ini berfungsi 2nd opinions dan dapat membatalkan temuan pemeriksa.

Pasal 13 terkait Tim QA sekarang menjadi seperti ini:

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak: ...
mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor

Jangka waktu pengujian data konkret adalah satu bulan saja. Jangka waktu pengujian bagian dari jangka waktu pemeriksaan. Sejak Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 jangka waktu pemeriksaan dibagi dua, yaitu:
  • jangka waktu pengujian
  • jangka waktu pembahasan
Berbeda dengan jangka waktu pengujian pada pemeriksaan kantor lainnya, khusus pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret tidak dapat diperpanjang. Sehingga total jangka waktu pengujian hanya sebulan. 

Selain pemeriksaan data konkret, jangka waktu pengujian dalam pemeriksaan kantor paling lama empat bulan dan dapat diperpanjang dua bulan sehingga total bisa enam bulan.

Jangka waktu pembahasan pemeriksaan berdasarkan data konkret juga lebih singkat, yaitu hanya sepuluh hari kerja saja alias dua minggu.

Penyelesaian pemeriksaan ditutup dengan LHP (laporan hasil pemeriksaan). Ada dua jenis "penutup" pemeriksaan pajak, yaitu:
  • LHP Sumir, dan
  • LHP
Jika pemeriksaan dilakukan dengan LHP Sumir maka pemeriksaan dianggap "tidak dilakukan pemeriksaan". Setelah LHP Sumir, maka pemeriksaan dapat dilakukan lagi dan bukan pemeriksaan ulang.

Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang tidak merespon pemeriksaan data konkret, pemeriksa tetap dapat membuat LHP dan menerbitkan SKPKB. Hal ini diatur di Pasal 22 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015
Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dilakukan dalam hal: Wajib Pajak, wakil, atau kuasa Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan
Jangka waktu sebulan tersebut dibaca sebagai jangka waktu pengujian. Setelah sebulan berlalu, baik wajib pajak merespon maupun wajib pajak tidak merespon, pemeriksa pajak tetap menyampaikan SPHP (surat pemberitahuan hasil pemeriksaan) kepada wajib pajak.

Menghitung satu bulan itu dimulai sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan. Pemeriksa pajak harus hati-hati dengan pengiriman Surat Penggilan ini. Bisa jadi surat belum diterima oleh wajib pajak. Baiknya, pemeriksa meyakinkan bahwa surat penggilan diterima.

Pada beberapa kasus, kantor pajak mengalami kesulitan dalam pengiriman surat ke Wajib Pajak. Baik kesulitan karena geografis maupun teknik pengiriman. Bisa jadi perusahaan ekspedisi telat menyampaikan jika perusahaan yang menjadi rekanan KPP tidak baik.

Sejak Surat Penggilan diterbitkan artinya sejak tanggal surat. Proses dari tanggal surat sampai surat diterima oleh Wajib Pajak harus diperhatikan baik oleh pemeriksa pajak maupun oleh Wajib Pajak agar hak wajib pajak bisa terpenuhi.

Terdapat perbedaan cara penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Jika pada pemeriksaan pajak "normal" undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan disampainya setelah pemeriksa memberikan kesempatan untuk menyampaikan tanggapan SPHP, maka pada pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret undangan disampaikan bersamaan dengan SPHP.

Mengingat jangka waktu pembahasan hanya 10 hari kerja, maka terbatas waktu bagi pemeriksa jika undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan harus menunggu jangka waktu respon SPHP.

Jadi, pemeriksa pajak akan menyampaikan SPHP bersamaan dengan undangan tertulis untuk menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Setelah itu, Wajib Pajak menyampaikan tanggapan tertulis pada saat menghadiri pembahasan.

Itulah poin-poin perbedaan pemeriksaan pajak berdasarkan data konkret dengan pemeriksaan pajak kantor lainnya.

Secara langkap, langkah-langkah pemeriksaan kantor dalam hal ruang lingkup pemeriksaan hanya dilakukan terhadap keterangan lain berupa data konkret sebagai berikut:
  1. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor,
  2. Surat Peminjaman Dokumen bersamaan dengan surat penggilan,
  3. Wajib Pajak memenuhi panggilan ke kantor pajak,
  4. Pengujian dokumen terkait data konkret oleh pemeriksa pajak,
  5. Sebulan kemudian, disampaikan SPHP dan Undangan Pembahasan ke Wajib Pajak
  6. Pembahasan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu 10 hari,
  7. Dibuat LHP dan diterbitkan SKPKB 



Komentar

Unknown mengatakan…
sangat berguna bro...thanks...
Ain mengatakan…
Artikelnya bagus sekali. Terimakasih ilmunya sangat bermanfaat. Saya ada pertanyaan, kira2 apa yang menjadi kontroversi dari verifikasi untuk memeriksa data konkret? Apa karena sebenarnya verifikasi ini sudah menjadi bagian dari pemeriksaan itu sendiri?
Terimakasih

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru